16 April 2010

namamu zia

ZIA AHMAD SYIFA..
RS PELNI Petamburan, 13 April 2010 pukul 02.05, kau terlahir ke dunia

02 Februari 2009

Ambonku Pergi untuk Selama-lamanya.. (2)

Kejamnya Lalat-Lalat Rumah Sakit...!

Dua minggu sudah istriku tercinta Shelvia Jaflaun terbujur kaku di TPU Cikoko, Pancoran, Jakarta Selatan. Senin, 19 Januari 2009 pukul 05.30, menjadi hari terakhirmu menatap dunia dengan segala warna kelabunya. Sesal itu seperti tak pernah lekang oleh waktu. Mungkin orang2 melihat aq sudah bisa tertawa, bercanda, tapi tidak di hatiku. Aq masih saja menangis jika mengingat kepergianmu yang tak pernah disangka. Aq tak ingin menggugat takdir Yang Kuasa. Yang aq sesalkan, ternyata ribuan fakta yang pernah aq tulis tentang buruknya pelayanan rumah sakit di Jakarta, bukan isapan jempol belaka.

DISKRIMINATIF! kata2 itu yang selalu saja muncul ketika aq menulis perlakuan yang diberikan kepada kaum papa. Itu pula yang akhirnya menimpaku saat mencoba mencari asa agar kau tetap bisa hidup mendampingiku. Mungkin tampangku memang miskin hingga diperlakukan seperti kaum papa. Yah, aq memang menyadari aq memang bukan kelompok kaum berduit. Selain diriku, mungkin ada juga ribuan warga DKI yang lain yang merasakan kejamnya sifat kebinatangan pekerja rumah sakit itu. Hati kapitalis, otak borjuis. Ini rumah sakit pemerintah bung!.. kalian dibayar dengan uang rakyat. Rumah sakit yang kalian jadikan tumpuan hidup disubsidi Rp 350 miliar dari dana APBD yang diambil dari peluh keringat masyarakat. Apa kalian ga tahu? atau pura2 ga tahu? atau memang kalian sudah terkontaminasi dengan nafsu untuk bisa mengeruk keuntungan terhadap setiap pasien yang dicekam kepanikan!..

Hingga saat ini pun masih kurasakan sesak di dada saat mengingat hari2 yang melelahkan menghadapi orang2 brengsek di rumah sakit. Pelayanan buruk, diskriminatif, perawat dan suster yang judes tak berperasaan ditambah harga resep selangit yang harus ditebus setiap saat pasien akan ditangani. Tanpa menggugat takdir, secara teknis aq ingin menyatakan, istriku korban dari kebobrokan manusia rumah sakit Jakarta. Ya Allah, jika aq boleh meminta, sadarkanlah mereka dengan petunjuk-Mu agar para dokter, perawat, suster dan petinggi2 rumah sakit ada sedikit hati dan punya perasaan untuk bisa merawat mahkluk2mu yang tengah terbaring mencari asa kehidupan. Atau boleh juga Kau beri pelajaran melalui pengalaman yang menyakitkan. Bahwa menjadi korban diskriminasi itu rasanya menyesakkan dada. Apa para dokter, perawat, suster tak pernah merasakan itu semua hingga sampai tak punya hati! aq sebenarnya ingin mengumpat satu per satu kepada mereka... astagfirulah hal adhim.

Ya Allah! maafkan hamba-Mu ini
Hanya Engkau Yang bisa memberiku petunjuk
Hanya kepada Engkau aq berharap
Hanya kepada Engkau aq bersimpuh
Hanya kepada Engkau kupasrahkan semua yang kumiliki

Saat kutermenung sendiri mengenangmu

25 Januari 2009

Ambonku Tlah Pergi untuk Selama-lamanya... (1)

Akhir penyesalan..


Sampai detik ini aq masih tak percaya Ambonku tlah pergi untuk selama-lamanya. Senin, 19 Januari 2009 pukul 05.30, di ruang ICU RSUD Koja tiba2 jantungmu berhenti berdetak. Aq masih tak percaya kau tlah tiada. Kenapa kau meninggalkanku Ambonku. Kenapa kau tinggalkan Najwa malaikat kecilmu. Kenapa..! kenapa..kenapa..! Shelvia Jaflaun namamu. Perempuan keturunan Ambon campuran darah Belanda. Setelah menikah 2006 lalu, aq selipkan nama Zahra di tengah namamu agar kau menjadi harum seperti bunga. Shelvia Zahra Jaflaun.

Aq tak pernah menyangka smua berjalan begitu cepat. Aq masih merasa baru kemarin aq mencintaimu. Baru kemarin qta menikah. Baru kemarin qta menghabiskan bulan madu. Lalu malaikat kecil yang kau harapkan sejak lama hadir ke dunia. Najwa Syifa kuberi nama si mungil itu. Dengan bibir kering dan gemetar, kau masih sempat menerangkan arti Najwa Syifa kepada orang-orang yang menjengukmu di lantai 8 kamar 508 RSUD Koja, Jakarta Utara. Kau sebut Najwa Syifa sebagai rahasia Tuhan yang diturunkan untuk menjadi obat. Obat bagi keluarga. Obat bagi kita berdua. Tapi kenapa kau pergi..

Sampai saat inipun aq masih tak percaya kau telah tiada. Setiap saat aq mengingatmu, aq selalu bertanya, kenapa semua itu berjalan terlalu cepat. Kenapa kau pergi. Kenapa kau tak bernafas lagi. Kenapa smua serba terlambat. Baru dua tahun kau mendampingiku. Yah, cuma dua tahun. Tak lebih. Kau hanya menikahiku untuk melihatmu terbujur kaku lalu ditimbun tanah merah di TPU Cikoko. Sudah puluhan tahun aq tak pernah menangis istriku. Sehebat apapun cobaan itu, aq coba untuk tegar. Tapi kenapa saat kau tiada, aq begitu terpukul. Kesedihan yang tak terkira. Aq merasa kembali menjadi sebatang kara. Tangisku akan kembali meledak ketika kuingat Najwa masih terlalu dini untuk kau tinggalkan. Siapa yang kan mendekapnya selepas kau pergi istriku. Siapa yang kan memberi kasih sayang seperti yang kau berikan.
Jika di alam sana ada internet dan kau bisa buka blog ini, bacalah secara berulang kali agar kau tahu betapa aq tak mau kau tinggalkan. Aq memang ikhlas melepasmu karena itu sudah menjadi kehendak-Nya. Tapi yang aq sesalkan kenapa harus sekarang. Saat Najwa baru saja terlahir ke dunia. Saat malaikat kecil yang kau damba-dambakan telah hadir ke dunia. Kenapa tidak nanti saja kau pergi saat Najwa sudah dewasa. Saat malaikat kecil kita sudah sukses. Sekolah setinggi-tingginya, menjadi dokter gigi lalu menikah. Bukankah kau menginginkan punya anak tiga istriku...ambonku.. cintaku... baru kuberikan satu, kenapa kau buru-buru pergi.

Sebenarnya, di ruang ICU ketika dokter menyatakan kecil kemungkinan kau bisa bertahan, aq masih bisa berfikir rasional. Aq masih cukup tegar. Tapi setelah menyadari bahwa ketika saat-saat terakhirmu tak ada satupun keluarga yang menungguimu, memberi semangat untuk tetap bertahan dan mendoakanmu, aq merasa diiris-iris sembilu. Perih, pilu, tragis dan sangat ngenes. Itu pula yang membuatku sangat terpukul. Aq menangis sejadi2nya. Meskipun tanpa suara dan hanya air mata yang terus menetes tak henti2nya.
Menjelang malaikat mencabut nyawamu di ruang ICU lantai 3, hanya aq, sam sama mbak arie yang sudah empat hari empat malam menungguimu sepanjang waktu tanpa lelah. Aq menangis sesenggukan. Dalam dada terasa sesak ada yang menyumbat. Pilu. Pilu sekali.. sambil menangis setengah marah, kakmino, opi, ina, tante lena, tante fora, kaktutik aq telponin satu per satu. Kenapa saat terakhirmu saja keluarga masih sibuk dengan urusannya masing2. Ini Jakarta bung. Yah, ini memang Jakarta. Tapi apakah rasa kemanusiaan itu harus terkalahkan dengan egoisme pribadi. Apalagi, yang tengah meregang nyawa itu adalah saudaranya sendiri, keluarganya sendiri...
Kerja? smua orang juga kerja. Aq juga kerja.. cari duit buat bayar rumah sakit.. nungguin sepanjang malam di rumah sakit.. kawan Sam yang jelas2 ga ada hubungan darah juga nungguin sepanjang malam juga kerja. Tapi rela meninggalkan kerja karena rasa kemanusiaan itu masih ada. Bahkan, bukan hanya tenaga yang sudah banyak dia curahkan. Tapi juga biaya. Uang jutaan yang tak terhitung jumlahnya.

Di depan ruang ICU aq terus menangis sambil telpon semua yang bisa dihubungi. Kesedihan yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Sedih karena melihat nyawa istriku melayang tanpa ada satupun kluarga yang sigap. Bukankah Minggu siang dokter dah bilang nyawa istriku pernah hilang lalu muncul lagi. Jika nafas pernah hilang, artinya ada kemungkinan bakal hilang lagi. Kenapa kluarga hanya datang sebentar lalu pergi lagi. Nungguin kek. doain kek. toh cuman sekali seumur hidup. Bukankah saat dirawat di RS Budi Kasih Ambarawa keluarga Jakarta memaksa agar kau bisa dirawat di sini. Tapi setelah permintaan itu aq penuhi, tak ada satupun yang benar2 konsisten memberimu perhatian penuh. Apa harus terus ngandalin kaktutik? bukankan dia dan keluarganya tlah cukup membantu biaya rumah sakit dan beli obat yang harganya melangit? wajar jika aq tak terlalu berharap. Bantuan itu sudah cukup berarti. Tanpa harus ikut nungguin di rumah sakit, bagiku tak masalah. Tapi bagaimana dengan keluarga jaflaun yang lain? atau trah ngelyaratan yang lain? atau keluarga2 ambon-jakarta yang lain?
Minggu malam memang keluarga sudah datang semua ketika dokter menyatakan kondisi istriku tambah kritis. Tapi begitu malam mulai merayap, satu per satu keluarga pergi semua. Yang tersisa tinggal kami bertiga. Aq, sam sama mbak arie. Air mataku terus mengalir tak bisa kutahan. Aq duduk lemas tak tahu harus berbuat apa. "Pak dipanggil dokter ke ruang ICU," terdengar suara membuyarkan lamunan dan kesedihanku.
Di dalam ruangan, istriku masih terbujur kaku di atas ranjang. Bedanya selang2 infus sudah tak membelit lagi. Sekujur tubuh ditutup dengan kain. "Tolong diisi lengkap data istrinya pak untuk surat kematian," kata perempuan yang duduk di depanku. Setelah mengisi data lengkap, perempuan itu kembali menyodorkan satu kertas yang berisi daftar tagihan biaya perawatan selama di ICU dan obat2an tambahan yang harus segera dibayar sebelum jenazah bisa dibawa pulang. "Bapak selesaiin dulu di bagian administrasi lalu kembali lagi ke sini," katanya singkat. Sambil menengok jasad kaku istriku, aq melangkah keluar ruangan.

Di lantai bawah, tagihan itu tidak aq langsung bayar. Aq masih belum bisa menahan kesedihanku. Karena sejak meninggal pukul 05.30, sampai pukul 08.00 belum ada satupun keluarga istriku yang nongol. Sementara ibu dan maskin yang baru datang dari kampung masih terjebak kemacetan lantaran Kelapa Gading pagi itu banjir. Semua kendaraan harus lewat tol. Tiap detik aq lihat arloji yang berjalan sangat lambat. Aq semakin pilu. Dengan apa aq harus membayar tagihan. Duit bantuan yang dikasih Pak Prijanto Wagub DKI Sabtu (17/1) siang Rp 2 juta sudah terpotong Rp 1,5 juta untuk nebus obat. Tinggal tersisa Rp 500 ribu. Kenapa keluarga tak kunjung datang. Aq cari tempat yang tidak ramai lalu lalang orang. Setelah itu aq telpon Pak Sekda Muhayat. Aq bilang Epi dah ga ada. Aq bilang ga ada orang di rumah sakit. Aq hanya sendirian menanggung kepiluan. Setelah bilang itu, lalu aq menangis sejadi2nya. "Sudah ga papa. Yang sabar, yang tabah Ak. Tuhan pasti memberi jalan yang terbaik," kata Pak Muhayat singkat.

Pukul 08.30, ibu dan maskin akhirnya sampai juga di rumah sakit. Ibu langsung menubrukku lantas menangis. Mungkin kasihan melihatku. Lalu aq antar ke ruang jenazah yang terletak di lantai 1 paling pojok. "Ini Epi bu. Epi dah ga ada," kataku membuka kain yang menutupi wajah istriku. Karena tak kuat, aq akhirnya kembali menangis. Ibu justru aq lihat lebih sedih. Sambil membisikkan lafal thoyyibah la ilaha illallah, ibu mengusap rambut di kening istriku. Tangisnya sesenggukan terasa sangat berat. Tidak beberapa lama, willy, istrinya dan dua anaknya Fadli dan Imar datang. Pukul 08.45, kakmino dan opi sampai rumah sakit. Aq langsung ajak Sam ke depan untuk nyelesain administrasi. Setelah dihitung ternyata cuma Rp 5 juta. Aq langsung ke ATM. Cek saldo ternyata ada Rp 1,5 juta dan aq ambil smua. Duit itu dikirim mas tir redaktur indopos jkt ry yang datang pagi2 sebelum ibu datang. Alhamdulilah. Setelah digabungin ama yang dari orang2 sampai juga Rp 5 juta. Aq langsung suruh sam untuk bayar. Sekaligus biaya ambulan Rp 150 ribu.

Ambulance meluncur menyisir kemacetan Ibukota menuju kontrakan mungilku di Cikoko, belakang Menara Saidah Cawang. Aq, sam naik sepeda motor di belakangnya. Maskin diboncengin fora suaminya opi. Sampai di rumah, sudah banyak petugas Satpol PP dan Dishub yang berkerumun di jalan depan kontrakan. Suara motor BM petugas meraung2 di sekitar kampung mencari alamatku. Kebetulan saat sms ke semua orang, termasuk Gubernur, Wagub, Sekda, Asisten, Kepala Dinas dan seluruh pejabat DKI, aq tulis alamat sesuai KTP yang kebetulan itu alamatnya kakmino. Berulang kali petugas memastikan alamatku yang banyak orang melayat adalah Shelvia Jaflaun istriku. Aq bilang ya ini kontrakanku. "Untuk memastikan saja pak. Soalnya pejabat DKI mau datang," kata petugas Dishub yang datang ke rumah.

Pukul 10.00, Pak Rinta orang humas tiba di kontrakan langsung tanya jenazah mo dikubur di mana. Aq bilang yang dekat rumah. Kalau bisa di TPU Cikoko saja. Lalu aq diajak ke makam sama Pak Rinta. Setelah aq cek, kata petugas makam ga ada yang kosong. "Gimana makam dah beres belum," kata Pak Muhayat dari telpon. "Sedang dipersiapkan pak," jawab Pak Rinta. Karena ga ada yang kosong, Kepala Dinas Pemakaman lalu ditelpon. "Masih ada yang kosong. Kepala TPU Cikoko Pak Abdurrohim nanti yang kesitu," kata suara dari telpon. Karena perintah dari atas harus beres, akhirnya plang papan TPU dibongkar dan digeser. Sebab, kalau tidak di situ, tak ada tempat lain yang kosong. "Ya udah, bongkar saja plangnya. Saya yang tanggungjawab," kata Pak RW 03 ngasih dukungan. Saat ribut cari tempat makam yang kosong, Hp bututku berbunyi. Katanya Pak Sekda Muhayat sudah nyampe rumah. Aq buru2 balik.
Entah mengapa, air mata yang tadi sudah mengering kembali jatuh ketika melihat Pak Muhayat. Aq langsung salamin dan memeluknya. Aq merasa Pak Muhayat telah menjadi teman sekaligus orangtua yang memberi dukungan bagi anaknya. "Yang sabar Ak. Kamu harus kuat. Tabah. Si kecil masih membutuhkanmu," katanya memberi semangat.
Dengan duduk di kursi depan rumah, aq lalu bercerita seputar sakitnya Epi dan perlakuan rumah sakit yang sangat diskriminatif. Yang selalu bilang ICU penuh, harus dirujuk ke RS Puri Indah yang DPnya Rp 20 juta atau RS Thamrin yang DPnya Rp 15 juta. Meskipun kenyataannya ICU RSUD Koja ada tiga yang kosong. "Ini ga bener. Terlepas meninggalnya Epi sudah menjadi kehendak-Nya, jika pelayanannya seperti itu jelas tidak bener. Ini harus dibenahi," katanya. Dalam kesempatan itu juga aq cerita kalau perawat, suster sangat judes dan tidak berperikemanusiaan. Karena ada kesibukan, Pak Muhayat akhirnya pamit dan tidak bisa ikut mengantar ke makam. "Terima kasih banyak Pak Muhayat, atas semua dukungan, bantuan dan doanya," kataku kemudian.

Awalnya, aq rencanakan jenazah istriku akan dikubur pukul 14.00. Namun, Pak Rinta bilang Pak Prijanto Wagub mo datang pukul 15.30. Akhirnya aq putuskan menunggu. Skalian nanti Pak Pri yang nglepas. Pukul 15.30, rombongan Wagub tiba di kontrakan. Masih menggunakan seragam PNS warna hijau, mantan Aster TNI AD itu langsung berdiri di depan pintu. Aq langsung menyalaminya sambil sesenggukan meneteskan air mata. Lalu aq memeluknya. Sementara jenazah Epi dah dibawa keluar untuk segera diberangkatkan. Kaktutik aq suruh menjadi MC pelepasan. Setelah sambutan perwakilan dari keluarga Jaflaun, Pak Wagub lalu memberikan sambutan skaligus melepas jenazah diberangkatkan ke makam. "Semua yang ada di dunia ini adalah milik-Nya. Tidak ada yang abadi. Karena milik-Nya, kapanpun bisa diambil-Nya. Bagi Aak, saya harap bisa sabar, tabah dan bisa mengasuh anaknya yang masih berumur 6 bulan. Semoga menjadi anak yang sholehah," kata Wagub lalu mengakhiri sambutan.
Setelah itu, rombongan menuju masjid pancasila yang terletak di sebelah rumah. Wagub dan pejabat teras lainnya ikut nyolati di masjid. Tidak beberapa lama, jenazah langsung dibawa pakai ambulan ke makam TPU Cikoko. Andi menantunya tante Lena bertugas azan di liang lahat. Petugas lalu menguruk galian. Air mataku tak henti2nya menetes.
Setelah liang lahat membentuk gundukan, pak ustad memulai memimpin zikir bersama. Sambil tertunduk, air mataku terus keluar tak mampu kutahan. Ada penyesalan yang tiada tara. Sekitar setengah jam, zikir telah selesai. Tapi para pengantar masih berkerumun. Lalu aq taburkan bunga sambil menangis. Lalu kuputuskan untuk zikir lanjutan sendiri. Dalam lamunanku aq melihat istriku terbang dibawa dua orang bersayap. Dia hanya menoleh ke arahku lalu hilang ditelan awan.

Semoga kau damai di sisi-Nya istriku. Aq kan selalu mendoakanmu setiap saat aq mengingatmu. Doakan juga agar ayah bisa mengasuh Najwa hingga dewasa menjadi anak yang sholehah.

Mungkin ini adalah akhir sebuah penyesalan...
Tapi aq berharap, ini bukan benar2 sebuah penyesalan. Karena mungkin gusti Allah punya rencana lain demi kebaikanmu, kebaikan orang2 yang kau tinggalkan.. dan aq kan selalu belajar untuk bisa menerima itu semua..

Jelang 7 hari sejak kau tinggalkan. Cikoko, 24 Januari 2009

07 Januari 2009

Ya Allah, Kemana Harus Kucari Rahasia Obat-Mu

Jumat (1/1) siang, Mbak Nul, Masaris n Ida datang dari Jogja menjenguk istriku di Ambarawa. Kebetulan aq baru saja datang dari Jakarta. Sekitar habis jumatan, Masaris sharing bagaimana kalau Epi dibawa ke rumah sakit saja untuk pemulihan fisiknya. Toh, yang nempel ikut dia sudah pergi. Meskipun kadang sering datang dan pergi lagi. Kata pae, tiap malam kadang kelambu kamar sering bergerak sendiri meski tak ada angin. Ada seperti bayangan sedang mengintip keluar. Tapi setelah dicek ke dalam kamar tidak ada siapa2. Istriku masih tidur nyenyak. "Kuncinya neng awakmu le. Kalau kamu sholat malamnya kuat. berkakas itu ga bakalan berani ikut istrimu. Klo ngandalin dia juga susah. Suruh pantang makanan ga mau. Yang ga boleh malah dimakan. Suruh zikir juga ga mau. Suruh di mushola saja ga mau. Gimana mau sembuh," kata pae cerita seputar istriku selama aq tinggal di Jakarta.
Jika fisiknya agak pulih, rencananya istriku akan dibawa berobat ke Mbah Zarkoni. gurunya pae di Grabakan. Biar berkakas bisa disikat habis dan ga balik2 lagi. Setelah itu tinggal penyembuhan fisiknya. "Tapi kalau memang yang penyakit non fisik dah bisa diatasi atau diatasi sambil jalan. Bagaimana kalau Epi dibawa ke rumah sakit saja. Biar ada kejelasan seberapa sakitnya, seberapa sembuhnya," usul masaris siang itu.
Aq bilang ga papa kalau ada yang bantu biaya rumah sakit. Minimal 50 persen. Sisanya aq yang nyariin. Lalu aq putuskan telpon bapak/ibu di Tuban. Tanya bagaimana jika Epi dibawa ke rumah sakit untuk cek perlu rawat inap atau cukup berobat jalan. Katanya ga papa. Klo terpaksa harus nginap, biaya tar dicariin. Sebab, duit pinjam dari Opi adiknya istriku Rp 400 ribu ama pinjam dari Pak Rinta orang humas pemprov Rp 500 ribu sudah habis untuk akomodasi selama di Ambarawa sebelum masuk rumah sakit.
Aq akhirnya lega dan bersedia jika Epi dibawa ke rumah sakit setelah Ibu Tuban kasih lampu hijau. Tapi bukan di Jakarta. Di Ambarawa saja. Soalnya dari sisi fisik, istriku belum memungkinkan jika dibawa ke Jakarta naik kereta.

***
Dengan naik dokar (andong), istriku aq papah naik angkutan tradisional itu. Di kursi belakang ditemani Ida. Masaris dan zenar duduk dekat pak kusir. Sementara aq, mamat, pae naik motor binter menuntun dari depan pelan2 menyisir pematang sawah yang dikitari rawa pening itu. Begitu masuk UGD, petugas langsung memeriksa berdasarkan keluhan. Aq langsung bilang sakit diabetes. Keluhan lain demam menggigil, batuk, sesak nafas, sering muntah dan kaki lemas. "Gulanya 155 mas. Normalnya 117," kata perawat singkat lalu menawarkan agar istriku rawat inap.
Setelah disodori rincian biaya rumah sakit masing-masing kelas, aq pilih kelas 3. Itung2 murah. Setelah tempat disiapkan, istriku langsung diboyong ke ruangan paling atas. Sore itu ruangan Ratih E berukuran 6x6 di lantai 2 penuh sesak. Pasien aq lihat ada 5 orang. Tapi pengunjungnya itu, masya Allah. Kayak pasar. Untuk bisa lewat saja susah. Satu orang pasien yang antre jenguk ada 10 sampe 15 orang.
Istriku bilang ga mungkin bisa istirahat tenang jika kondisinya seperti itu. Aq langsung ke ruang resepsionis tanya apa masih ada kelas 2 yang kosong. Katanya penuh. Tinggal kelas 1 dan VIP. "Sewa kamar Rp 150 ribu per hari. Biaya penanganan biasa Rp 800 ribu, penanganan khusus Rp 1,3 juta ditambah biaya obat2an atau jika ada keperluan tambahan. Kalau mau diambil, nanti pasien langsung dipindah," kata petugas jaga. Aq bilang Ok ga papa di kelas 1. Pukul 06.00, istriku dah bisa menempati ruang Anjani E yang terletak di lantai 1 paling belakang. Satu kamar hanya ada 2 orang. Lumayanlah ga terlalu ramai. Soal biaya tar dipikir belakangan.

***
Magrib itu, masaris, mbaknul, ida, zenar terpaksa balik jogja. Karena masaris ada tugas kampus. Pae pulang ke rumah. Aq tinggal di rumah sakit sendiri nungguin istriku. Sambil ketak ketik berita, aq tungguin istriku. Kebetulan jumat masih masuk. karena PNS libur aj, jadi ga harus ke balaikota. Kondisi istriku semakin lemah. Jika sebelumnya bisa jalan, begitu masuk rumah sakit langsung drop fisiknya. Jalan sempoyongan, kalau diajak ngomong agak ga nyambung. Suruh makan atau minum obat agak susah. Aq tambah stres karena suster hanya ngantar obat digeletakin begitu saja. "Ini obatnya pak. Diminum setelah makan,". "Ini makanannya pak,". "Ini air panasnya pak,". Kata2 itu selalu saja mluncur tanpa tindakan. Hanya digeletakin di kursi ato meja. Jika pelayanannya seperti itu, tentu harus ada yang nungguin setiap saat. Untuk memastikan makanan disantap dan obat diminum. Apalagi, tiap saat juga istriku harus bolak-balik ke kamar mandi. "Kalau ditinggal, siapa yang tenteng2 infus ke kamar mandi,". aq stres berat malam itu. Semua aq sms telfonin suruh nyariin orang yang bisa jaga di rumah sakit. Ibu Tuban baru bisa dateng hari senin. Sementara tiket argo anggrek sudah aq beli Rp 390 ribu berangkat minggu dini hari karena esoknya aq harus masuk kerja. Aq telfon kluarga Jakarta, smua bilang sibuk. Opi adik kandung istriku mau cariin orang di Jogja, tapi tak kunjung ada kabarnya. Ina adik istriku paling bontot juga bilang ga bisa nemenin mau balik Ambon karena takut bisnis perdananya hilang. Kakmino malam itu telpon agar istriku dibawa ke Jakarta saja. Aq bilang kondisi fisik ga memungkinkan kalau naik kereta. Kecuali jika pakai mobil.

***
Malam itu aq merenung2. Apa langkah jangka pendek yang bisa aq lakukan. Setelah pae menyerah cari orang ga ketemu, kluarga Jakarta juga ga ada yang bisa datang, aq putuskan telpon Ibu Tuban agar bisa datang esok harinya. Agar sore sudah sampai rumah sakit dan gantian nungguin istriku. "Biayanya gimana. Kalau berangkat sekarang, biaya rumah sakit carinya kapan?," kata Ibuku dari telfon. Aq bilang biaya rumah sakit tar aj dipikirin. Yang penting datang dulu ke Ambarawa. Soalnya aq dah bolos kerja dan harus segera balik Jakarta. Sekaligus cari biaya rumah sakit. Sementara kondisi istriku drop banget. Makan minum obat, ke kamar mandi harus selalu dikawal. Malam itu harapanku tinggal ke mbak po yang ikut di rumah pae. Minimal bisa nunggu sampe Ibu Tuban dateng. Astagfirullah hal adhim. Tanpa alasan yang jelas, mbak po malam itu menolak dimintain bantuannya untuk jaga istriku. Meskipun hanya semalam. Aq pun pasrah. Membiarkan tiket kereta Rp 390 ribu hangus dan terpaksa balik ke rumah sakit. Untungnya mas tir redaktur ngerti dan mengijinkan aq ga masuk kerja lagi.
Esoknya, Senin (5/1) sore, Ibu Tuban dan Ida adik kandungku datang ke Ambarawa. Aq langsung buru2 meluncur ke Stasiun Tawang untuk ikut kereta Senja Utama menuju Jakarta. Sebelum meninggalkan rumah sakit, Ibu berpesan agar aq jangan stres dan bisa bersabar. Gusti Allah pasti akan memberi jalan. Semua musibah pasti ada hikmahnya. Aq disarankan agar tetap jaga stamina agar tidak ikut sakit. Jakarta-Ambarawa bukan jarak yang dekat. Kalau aq terus mondar mandir, fisik bisa drop. "Kasian Najwa kalau kamu sakit. Siapa nanti yang cariin biaya rumah sakit kalau kamu sakit," kata Ibu berbisik di depan pintu tempat istriku dirawat. Aq setengah mo menangis. Aq coba menahan agar air mata tidak sampai menetes. Kucium tangan Ibuku dan buru2 kabur agar kereta tidak telat.

***
Kususuri sepanjang jalan di Ambarawa tuk cari ATM. Arloji aq lihat sudah pukul 18.15. Padahal, bus terakhir ke Semarang pukul 18.30. Dapat ATM depan pasar ternyata rusak. Padahal, di dompet sama sekali aq ga pegang duit. Setengah putus asa, aq terus berlari kecil menyisir kanan kiri jalan siapa tahu ada ATM. Tapi setiap ada ATM, mesin rusak. Astagfirullah, ada apa lagi ini. Keluhku. Sementara Fauzi, muridnya pae yang mau bareng ke semarang sudah telpon2 agar aq buruan biar ga telat ngejar kereta pukul 20.00. "Pae, ATM rusak sedanten. Kulo mboten mbeto duit. Mboten gadah ongkos naik bis ke Stasiun Tawang," kataku akhirnya memutuskan telpon pae yang berada di rumah sakit. Setelah telpon, aq terus menyusuri jalanan di Ambarawa. Akhirnya di ujung jalan, depan alfa mart ketemu atm mandiri. ternyata bisa ngluarin uang. Alhamdulillah. aq langsung lega. Pada saat yang bersamaan, pae tiba di tempatku dan langsung mengantarkanku ke tempat Fauzi yang menunggu di pertigaan. Jam menunjukkan pukul 18.30. Lima menit menunggu, bus terakhir melintas. Aq langsung naik. Bus berjalan sangat lambat karena sambil cari penumpang. Bahkan sempat ngetem. Fauzi yang kerja di TNI AD itu sempat marah2 agar tidak ngetem lama2. Bus akhirnya meluncur dan tiba di Stasiun Tawang pukul 20.15. Bunyi kereta mo berangkat terdengar keras. Aq berlari sekencang2nya. Beli tiket langsung naik. Kebetulan kereta masih persiapan meluncur.
Selasa (6/1) subuh, aq nyampe di Jakarta. Fauzi muridnya pae yang kerja di TNI AD yang nemenin selama perjalanan di kereta ga mau diajak mampir rumah. Alasannya, pagi itu ada apel. Sampai rumah, Sam ternyata ada di rumah lagi tidur pulas. Nungguin sejak kemarin.

***
Setelah tidur sebentar, pukul 10.00, aq mluncur ke balaikota tuk liputan. Alhamdulillah, satu hari masuk kerja, ternyata temen2 liputan di balaikota tahu musibah yang menimpa keluarga kecilku dan bersedia saweran. Dari hasil patungan terkumpul Rp 500 ribu. "Ini ak dari temen2. Moga cepat sembuh istrimu. Yang sabar," kata pak Jaber dari nonstop yang mewakili temen2 seraya menyodorkan amplop warna coklat. Aq bilang ga usah pak Jaber, aq dah cukup ngrepotin temen2. Dulu waktu anakku lahir dan terpaksa dicesar, temen2 sudah cukup membantu. "Udah ga papa," katanya meninggalkan amplop di depanku.
Pukul 19.30, aq mo cabut dari presroom. Karena kakmino kakaknya istriku telpon pingin ketemu. Karena kluarga istriku pengin tahu bagaimana kondisi sebenarnya istriku. Saat aq mo nyalain motor, pak haji darul panggil2. Ternyata mo ngasih bantuan dari koordinatoriat wartawan balaikota untuk biaya rumah sakit istriku. "Yang sabar ya ak. Ini ada titipan," katanya sambil mengeluarkan uang Rp 4 juta. Alhamdulillah. Serasa aq pingin menangis malam itu. Terima kasih kawanku smua. You are my family. Trima kasih Gusti Allah. Sepanjang perjalanan pulang aq tak henti2nya mengucap syukur seraya berdoa agar istriku cepat sembuh n bisa cepat kluar rumah sakit. Cobaan itu terasa berat kutanggung.
Sampai di rumah nenek di Cikoko, ketemu kakmino dan langsung cerita seputar kondisi istriku terakhir. Waktu mo pamit pulang, Kakmino nyodorin uang Rp 500 ribu. Katanya titipan dari Kak Tutik untuk tambahan biaya rumah sakit. Alhamdulillah. Malam itu aq tak henti2nya mengucap syukur. Malam itu juga aq telfon pae Ambarawa dan bilang besok biaya rumah sakit langsung ditransfer. Paginya, Ibu yang jagain istriku di rumah sakit juga aq bilangin biaya rumah sakit Rp 5 juta langsung ditransfer. kalau kurang agar dicarikan tambahin sambil aq nyari2 lagi. Sambil nanyain kondisi terakhir, aq bilang agar smua kluarga ikut bantu doa moga2 minggu2 ini istriku bisa keluar rumah sakit. Agar biaya cukup dan tidak membengkak. "Dari hasil tes darah dan ronsen, kata Pak Susanto (ahli penyakit dalam), istrimu cuma kena bronkitis. Penyakit lain tidak ada. Mungkin minggu2 ini bisa dibawa pulang. Tapi pak Susanto bilang harus ada yang jamin," kata pae dari telpon. "Ga papa pae. Jumat besok aq ke Ambarawa lagi," jawabku. "Ga usah le. Mengko nek wis kondisinya membaik awakmu tak kabari. Kalau kamu ga bisa ke sini, pae yang akan nganter ke Jakarta. Awakmu konsentrasi kerja ae," kata pae lalu memutus telpon.
Ya Allah, sembuhkanlah istriku. Aq tahu ini adalah cobaan. Peringatan kalau aq malas untuk bersujud kepadamu. Malam yang seharusnya waktu untuk mengingat-Mu justru aq malah tidur terlelap.
Jika aq boleh curhat ya Allah, itu karena fisikku ga mau diajak kompromi. Lelah seharian liputan dan selalu ketiduran hingga pagi menjelang. Dalam hati kecilku, keinginan untuk selalu memutar tasbih di tengah malam yang sunyi selalu menyala2 dan tak pernah padam. Di atas motor di tengah kemacetan Jakarta pun aq selalu menyebut nama-Mu. Karena hanya Engkau yang pantas untuk selalu diingat. Hanya Engkau yang pantas untuk selalu disebut nama-Nya. Karna, hanya Engkau yang bisa dijadikan tempat bertumpu segala harapan.

Malam sunyi, di presroom balaikota usai ngetik brita, 7 Januari 2009.

23 Desember 2008

Duh Gusti Allah, Sembuhkanlah Istriku

Selasa, 23 Desember 2008. Memasuki hari kedua di Ambarawa, istriku sudah menunjukkan progres report yang menggembirakan. Jika waktu datang praktis tak bisa jalan, sejak tadi malam sudah mulai bisa jalan. Dari kamar tidur ke kamar mandi mau berjalan bolak balik sendiri tanpa dituntun. Panas tubuhnya juga mulai turun pelan2. Wajah yang pucat juga mulai berangsur normal tak sepucat saat baru tiba Senin subuh lalu. Sebab, ibu istrinya Pae selalu maksa agar istriku menghabiskan makan yang disuguhkan dan minum air putih sebanyak2nya. Alhamdulillah, satu piring bisa habis. Pepaya, jeruk dll juga dimakan dengan lahap. Meskipun batuknya masih terdengar sesekali memecahkan kesunyian malam. Begitu bangun tadi pagi, aq langsung paksain agar berjemur di halaman rumah. Kaki menapak di tanah bergantian di rumput. Dengan cara itu saraf kaki sekaligus bisa terefleksi. Jika malam, telapak kaki juga aq pijit untuk menetralkan urat saraf yang terjepit. Air Ampel yang disediain Pae aq suruh minum. Sebelum dipijit dan usai dipijit serta setelah makan. Air Ampel itu diambil dari masjid Sunan Ampel Surabaya. Biasanya, Pae menggunakan air tersebut untuk ngobati para pasien. Mulai dari penyakit fisik hingga non fisik. Dengan air itu pula, Pae berusaha membantu orang memecahkan persoalan mulai pertengkaran rumah tangga hingga masalah yang dihadapi para pejabat elit. Percaya atau tidak, sumber air Ampel diyakini memiliki jalur secara langsung dengan air zam-zam di Makah. Sebenarnya, air di sumber2 lain juga memiliki jalur serupa. Namun, tidak setiap saat. Hanya pukul 03.00 dini hari hingga sebelum subuh. Secara ilmiah, aq belum sempat menelusuri kebenarannya. Di kalangan kedokteran, tidak ada perbedaan pendapat soal air. Semuanya sepakat, air memang memiliki peran menyembuhkan. Sebab, mampu membantu metabolisme tubuh.
Selain berusaha mengobati secara fisik, tiap malam Pae menggenjot zikir untuk menetralkan hawa negatif yang ada. Usai memijit telapak kaki istriku lalu menyuruh minum air, aq ikut gabung sholat dan memutar tasbih. Pukul 01.00 sudah bisa selesai, merokok satu batang, minum kopi lalu aq putuskan istirahat di kamar sebelah. Najwa sendiri aq lihat sudah terlelap di pelukan mamanya.
Di Ambarawa memang suasananya beda dengan Jakarta. Dengan dikitari deretan perbukitan, areal sawah yang menghijau dan rawa pening yang menghampar, praktis kota kecil yang dikenal luas dengan Tugu Palagannya itu hawanya sangat dingin. Tidak hanya malam hari, tapi juga saat siang. Matahari hanya sesekali muncul lalu tertutup awan kembali.
Tadi malam aq cukup kedinginan. Lupa ga bawa jaket pelapis dan celana tebal. Dengan hanya pakai celana pendek, aq terpaksa tidur meringkuk kedinginan hingga pagi menjelang.
Dengan hawa yang sejuk dan suasana tenang, aq berharap bisa membantu secara psikologis upaya penyembuhan istriku. Minimal, perempuan keturunan Ambon itu bisa istirahat dengan tenang. Sebab, malaikat kecilku telah dijaga oleh istrinya Pae. Mulai memandikan, menemani untuk bercanda hingga menggendong jika nangis. Hanya jika istriku kangen dan teriak2 panggil Najwa baru si kecil di sandingkan di pelukannya untuk disusui.
Pagi2, Ida adik kandung yang kuliah di Jogja sms akan menjenguk ke Ambarawa jika tugas2 kuliah dah kelar. Masaris malamnya juga sms ngasih saran agar suplai gizi bisa tercukupi. Sebab, aktivitas menyusui membutuhkan tenaga ekstra.
Kawan Sam dari Bogor tadi pagi juga telpon kaget setelah membaca blog. Katanya kok dadakan ke Ambarawanya. Beberapa kawan liputan kemarin juga sms dan telpon tanyain kok seharian ga nongol di Balaikota. Aq bilang izin dulu bentar nganter istri ke Ambarawa. "Wahai kawanku semua, saudaraku smua, aq hanya mengharapkan doa kalian smua. Moga2 Gusti Allah ngasih kesembuhan istriku, menjaga istri, si kecilku dari segala penyakit dan mara bahaya". Aq rela berkorban apapun demi kesembuhannya. Jika ada dokter, paramedis, atau apapun namanya yang bisa menyembuhkan istriku, dengan apapun caranya, ilmiah, non ilmiah, atau tidak masuk akal sekalipun aq sangat berterimakasih. Yang penting istriku bisa sembuh. DUH Gusti Allah, sembuhkanlah istriku. Angkatlah penyakitnya dan turunkanlah obat untuknya. Hanya kepada Engkau kami berserah diri. dan hanya kepada Engkau pula kami minta pertolongan. Tiada kekuatan apapun yang bisa menandingi Kekuatan-Mu. dan tiada apapun yang bisa mencegah jika Engkau berkehendak.

Rawa Pening, 23 Desember 2008